Pages

ARTI TENTANG KEUANGAN DAN KERUGIAN NEGARA

Hukum tidak otomatis berperanan dalam pembangunan ekonomi. Untuk
dapat mendorong pembangunan ekonomi hukum harus dapat menciptakan tiga
kwalitas : “predictability”, “stability”, dan “fairness”. Tidak adanya
keseragaman, adanya kerancuan dan salah pemahaman mengenai keuangan
negara dan kerugian negara telah mendatangkan ketidakpastian hukum dan
akhirnya menghambat pembangunan ekonomi.
Paling sedikit ada enam masalah mengenai kerancuan “keuangan negara”
dan “kerugian negara” dalam usaha pemberantasan tindak pidana korupsi
dewasa ini, yaitu :
1. Apakah asset PT. BUMN (Persero) adalah termasuk keuangan
negara?
2. Apakah kerugian dari satu transaksi dalam PT. BUMN (Persero)
berarti kerugian PT. BUMN (persero) dan otomatis menjadi kerugian
negara?
3. Apakah ada upaya hukum bagi Pemerintah sebagai pemegang saham
menuntut Direksi atau Komisaris bila tindakan mereka dianggap
merugikan Pemerintah sebagai pemegang saham?
4. Apakah Pemerintah sebagai pemegang saham dalam PT. BUMN
(Persero) dapat mengajukan tuntutan pidana kepada Direksi dan
Komisaris PT. BUMN (Persero) bila tindakan mereka dianggap
merugikan Pemerintah sebagai Pemegang Saham?
5. Apakah yang dimaksud dengan kerugian negara?
6. Langkah-langkah apakah yang perlu dilakukan untuk terciptanya
sinkronisasi peraturan perundang-undangan dan pelaksanaannya?

1. Apakah asset PT. BUMN (Persero) adalah termasuk keuangan negara?
Pasal 1 ayat (2) UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara
menyatakan bahwa Perusahaan Persero, yang selanjutnya disebut Persero,
adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi
dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51% (lima puluh satu persen)
sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya
mengejar keuntungan. Selanjutnya Pasal 11 menyebutkan terhadap Persero
berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi perseroan
terbatas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang
Perseroan Terbatas.
Karakteristik suatu badan hukum adalah pemisahan harta kekayaan badan
hukum dari harta kekayaan pemilik dan pengurusnya. Dengan demikian suatu
Badan Hukum yang berbentuk Perseroan Terbatas memiliki kekayaan yang
terpisah dari kekayaan Direksi (sebagai pengurus), Komisaris (sebagai
pengawas), dan Pemegang Saham (sebagai pemilik). Begitu juga kekayaan
yayasan sebagai Badan Hukum terpisah dengan kekayaan Pengurus Yayasan
dan Anggota Yayasan, serta Pendiri Yayasan. Selanjutnya kekayaan Koperasi
sebagai Badan Hukum terpisah dari Kekayaan Pengurus dan Anggota
Koperasi.
BUMN yang berbentuk Perum juga adalah Badan Hukum. Pasal 35 ayat (2)
Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara
menyatakan, Perum memperoleh status Badan Hukum sejak diundangkannya
Peraturan Pemerintah tentang pendiriannya.

Berdasarkan Pasal 7 ayat (6) Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang
Perseroan Terbatas, BUMN Persero memperoleh status badan hukum setelah
akte pendiriannya disahkan oleh Menteri Kehakiman (sekarang Menteri
Hukum dan HAM).
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas kekayaan BUMN Persero maupun
kekayaan BUMN Perum sebagai badan hukum bukanlah kekayaan negara.
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan perumusan mengenai keuangan
negara dalam penjelasan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak
Pidana Korupsi yang menyatakan :
“Keuangan negara yang dimaksud adalah seluruh kekayaan negara dalam
bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk
didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban
yang timbul karena :

(a) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggung jawaban
pejabat lembaga Negara, baik ditingkat pusat maupun di daerah;
(b)berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggung jawaban
Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan,
badan hukum dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau
perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan
perjanjian dengan Negara.”

Kerancuan mulai terjadi dalam penjelasan dalam Undang-undang ini
tentang pengertian dan ruang lingkup keuangan negara yang menyatakan :
“Pendekatan yang digunakan dalam merumuskan Keuangan
Negara adalah dari sisi obyek, subyek, proses, dan tujuan. Dari sisi
obyek yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi semua hak
dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk
kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan
pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu
baik berupa uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan
milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban
tersebut. Dari sisi subyek yang dimaksud dengan Keuangan Negara
meliputi seluruh obyek sebagaimana tersebut di atas yang dimiliki
negara, dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah
daerah, Perusahaan Negara/Daerah, san badan lain yang ada
kaitannya dengan keuangan negara. Dari sisi proses, Keuangan
Negara mencakup seluruh rangkain kegiatan yang berkaitan dengan
pengelolaan obyek sebagaimana tersebut di atas mulai dari
perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan
pertanggungjawaban. Dari sisi tujuan, Keuangan Negara meliputi
seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan
dengan pemilikan dan/atau penguasaan obyek sebagaimana
tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan
negara.
Bidang pengelolaan Keuangan Negara yang demikian luas dapat
dikelompokkan dalam sub bidang pengelolaan fiskal, sub bidang
pengelolaan moneter, dan sub bidang pengelolaan kekayaan negara
yang dipisahkan.”
Penjelasan Pasal 2 huruf g sendiri adalah cukup jelas.

Kesalahan terjadi lagi dalam Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2005
tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah. Pasal 19 menyatakan
penghapusan secara bersyarat dan penghapusan secara mutak atas piutang
Perusahaan Negara/Daerah dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya Pasal 20 menyatakan bahwa
tata cara dan penghapusan secara bersyarat dan penghapusan secara mutlak
atas piutang Perusahaan Negara/Daerah yang pengurusan piutang diserahkan
kepada PUPN, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Dengan demikian peraturan ini tidak memisahkan antara kekayaan BUMN
Persero dan kekayaan Negara sebagai pemegang saham.
Tampaknya pemerintah menyadari kekeliruan pemikiran tersebut di atas
ketika menghadapi kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) bank PT.
BRI (Persero) Tbk, PT. Bank BNI (Persero) Tbk, PT. Bank Mandiri (Persero)
Tbk.
Pemerintah merencanakan penghapusan pasal 19 dan Pasal 20 PP No. 14
Tahun 2005. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan :
“Selanjutnya, pengurusan piutang perusahaan negara/daerah
dilakukan berdasarkan UU Perseroan Terbatas dan UU Badan
Usaha Milik Negara (BUMN). Jadi disebutkan bahwa aturan yang
mengatur bank-bank BUMN adalah UU Perseroan dan UU BUMN.”

Usulan perubahan PP No. 14 Tahun 2005 tersebut menjadi perdebatan di
dalam Komisi XI karena dianggap membatalkan Pasal 2 ayat g UU No. 17
Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Ada usul anggota DPR, untuk
perubahan PP No. 24 Tahun 2005 perlu meminta fatwa Mahkamah Agung RI.
Namun ada pula yang berpendapat, Pemerintah harus membuat peraturan
pemerintah pengganti undang-undang (perpu) untuk membatalkan Pasal 2
ayat g UU Keuangan Negara.1

2. Apakah kerugian dari satu transaksi dalam PT. BUMN (Persero) berarti
kerugian PT. BUMN (persero) dan otomatis menjadi kerugian negara?
Pasal 56 Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas
menyatakan bahwa dalam waktu lima bulan setelah tahun buku perseroan
ditutup, Direksi menyusun laporan tahunan untuk diajukan kepada RUPS,
yang memuat sekurang-kurangnya, antara lain perhitungan tahunan yang terdiri dari neraca akhir tahun buku yang baru lampau dan perhitungan
laba/rugi dari buku tahunan yang bersangkutan serta penjelasan atas dokumen
tersebut. Dengan demikian kerugian yang diderita dalam satu transaksi tidak
berarti kerugian perseroan terbatas tersebut, karena ada transaksi-transaksi lain
yang menguntungkan. Andaikata ada kerugian juga belum tentu secara
otomatis menjadi kerugian perseroan terbatas, karena mungkin ada laba yang
belum dibagi pada tahun yang lampau atau ditutup dari dana cadangan
perusahaan.
Dengan demikian tidak benar kerugian dari satu transaksi menjadi kerugian
atau otomatis menjadi kerugian negara. Namun beberapa sidang pengadilan
tindak pidana korupsi telah menuntut terdakwa karena terjadinya kerugian dari
satu atau dua transaksi.
Sebenarnya ada doktrin “business judgment” menetapkan bahwa Direksi suatu
perusahaan tidak bertanggung jawab atas kerugian yang timbul dari suatu
tindakan pengambilan keputusan, apabila tindakan tersebut didasarkan kepada
itikad baik dan hati-hati. Direksi mendapatkan perlindungan tanpa perlu
memperoleh pembenaran dari pemegang saham atau pengadilan atas
keputusan yang diambilnya dalam konteks pengelolaan perusahaan.
“Business judgment rule” mendorong Direksi untuk lebih berani mengambil
resiko daripada terlalu berhati-hati sehingga perusahaan tidak jalan. Prinsip ini
mencerminkan asumsi bahwa pengadilan tidak dapat membuat kepastian yang
lebih baik dalam bidang bisnis daripada Direksi. Para hakim pada umumnya
tidak memiliki ketrampilan bisnis dan baru mulai mempelajari permasalahan
setelah terjadi fakta-fakta.

3. Apakah ada upaya hukum bagi Pemerintah sebagai pemegang saham
menuntut Direksi atau Komisaris bila tindakan mereka dianggap
merugikan Pemerintah sebagai pemegang saham?
Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas tetap
memungkinkan Pemegang Saham menggugat Direksi atau Komisaris apabila
keputusan mereka itu dianggap merugikan Pemegang Saham berdasarkan
salah satu dari tiga pasal berikut ini:
Pasal 54 ayat (2) yang menyatakan :
“Setiap pemegang saham berhak mengajukan gugatan terhadap
perseroan ke Pengadilan Negeri apabila dirugikan karena tindakan perseroan yang dianggap tidak adil akibat keputusan RUPS, Direksi
atau Komisaris”.
Pasal 85 ayat (3) yang menyatakan :
“Atas nama perseroan, pemegang saham yang mewakili paling sedikit
1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak
suara yang sah dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri
terhadap anggota Direksi yang karena kesalahan atas kelalaiannya
menimbulkan kerugian pada perseroan”.
Pasal 98 ayat (2) yang berbunyi :
“Atas nama perseroan, pemegang saham yang mewakili paling sedikit
1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak
suara yang sah dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri
terhadap Komisaris yang karena kesalahan atau kelalaiannya dapat
menimbulkan kerugian pada perseroan”.

Oleh karenanya Negara sebagai Pemegang Saham berdasarkan pasal-pasal di
atas dapat menggugat individu Komisaris dan Direksi karena keputusan
mereka dianggap merugikan.

0 comments:

Post a Comment